PERS INDONESIA
Perkembangan
Pers di Indonesia
Secara terminologis
pers dapat diartikan sebagai media cetak. Pers adalah media, bagian dari proses
komunikasi yang terjadi antar sesama manusia. Pers mengambil bagian dalam
memperluas jangkauan penyampaian informasi/ pesan. Pers sendiri bertumpu pada 3
pilar penyangga utama, yaitu pilar idealism, profesionalisme, dan
komersialisme. Ketiga pilar ini memiliki fungsi yang saling menopang satu sama
lain.
Pers di Indonesia
telah mulai tumbuh sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, yaitu sejak jaman
penjajahan Belanda, tak bisa dipungkiri pers mengambil bagian yang cukup
penting dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Berikut ini akan pakar
komunikasi jabarkan mengenai perkembangan pers di Indonesia.
A. Sebelum Indonesia Merdeka
Perkembangan pers
sudah dimulai sejak sebelum Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, berikut
penjelasan lengkapnya.
1. Jaman Penjajahan
Belanda
·
Pada tahun 1676, telah
terbit ‘Kort Bericht Eropa’ (berita Singkat Eropa) di Batavia. Namun isinya
merupakan berita-berita dari negara lain. Pada Tahun 1744 juga terbit Batavia
Nouvelles, dan pada tahun 178- tebit harian Vende Nieucus.
·
Pada tahun 1810 terbit
surat kabar “Batavia Koloniale Courant’, surat kabar inilah yang merupakan
surat kabar pertama yang terbit di Batavia.
·
Tahun 1828 terbit
Javache Courant di Jakarta, yang isinya seputar berita resmi pemerintah, berita
lelang, atau kutipan dari harian di Eropa. Pada tahun 1835 juga terbit
Soerabajash Advertentiebland di Surabaya, yang isinya serupa.
·
Media massa pada masa
ini telah memuat aneka berita seperti politik, ekonomi, sosial, sejarah,
kebudayaan, seni tradisional dan peristiwa lain. Namun berita tersebut hanya
berita-berita yang kering, sebab penerbitan tidak boleh mengedarkan berita
sebelum diperiksa olah penguasa.
·
Hinggga akhir abad
ke-18, media massa yang terbit di Indonesia hanya menggunakan bahasa belanda.
Pada akhir abad 18 lah, baru muncul terbitan berbahasa melayu. Pada tahun 1985
terdapat 16 suratkabar berbahasa Belanda, dan 12 surat kabar berbahasa Melayu.
Muncul pula surat kabar berbahasa Cina pada masa itu.
·
Awal abad 19, pers
mulai menyebarkan berita mengenai politik serta perbedaan paham antara
pemerintah dan masyarakat. Tahun 1916 kritik yang menyerempet soal politik
mulai marak.
·
Pada tahun 1903 terbit
‘Medan Prijaji’, surat kabar pertama yang dikelola oleh kaum pribumi. Ini
menandakan mulainya bangsa kita masuk ke dalam dunia pers yang berbau politik.
Surat kabar yang oleh pemerintah Belanda disebut ‘Inheemsche Pers’ (pers
Bumiputra) ini dipimpin oleh R.M Tirto yang merupakan pelopor kebebarsan
bersuara bagi kaum pribumi.
·
Setelah ‘Medan
Prijaji’, banyak bermunculan surat kabar lain seperti ‘Harian Oetosan Hindia’
yang didirikan oleh Tjokroaminoto dari sarikat Islam; Koran ‘Api, Halilintar
dan Nyala’ yang didirikan Samau dari golongan kiri, ‘Guntur bergerak dan Hindia
Bergerak yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, ‘Benih Merdeka’ dan ‘Sinar
merdeka’ yang didirikan oleh Parada Harahap di Padang Sidempuan, serta ‘Suara
Rakyat Indonesia’ dan Sinar Merdeka’ yang didirikan oleh Bung Karno.
2. Jaman
penjajahan Jepang
Sejak Jepang berkuasa
di negri ini, beberapa surat kabar di Indonesia diambil alih secara perlahan.
Beberapa surat kabar dipaksa untuk bergabung, disatukan. Agar pemerintah Jepang
dapat memperketat pengawasan terhadap surat kabar yang berdar. Peran surat
kabar pada masa ini hanya sebagai alat Jepang, bersifat propaganda – memuji
pemerintah jepang. Segala bidang usaha pers harus disesuaikan dengan
rencana-rencana atau tujuan – tujuan tentara Jepang, yaitu memenangkan Perang
Asia Timur Raya.
B. Setelah Indonesia Merdeka
Perkembangan pers
berlanjut pesat setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya.
1. Awal
kemerdekaan (1945-1959)
·
Sejak teks proklamasi
dicetak di Koran, esoknya penduduk mulai memburu surat kabar. Minat baca serta
kesadaran akan kebutuhan pers telah meningkat, rakyat Indonesia ingin tahu
perkembangan negaranya yang baru merdeka ini melalui pers.
·
Perkembangan pers
setelah proklamasi sangat pesat, meskipun tetap mendapat tekanan dari penguasa
peralihan Jepang dan Sekutu. Wartawan – wartawan Indonesia dan penyiar –
penyiar radio giat melakukan penyebarluasan, sehingga pada bulan September seluruh
wilayah Indonesia dan dunia luar telah mengetahui tentang Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia.
·
Pada tanggal 6
September 1945 terbit ‘Nerita Indonesia’ yang merupakan surat kabar republik
pertama. Surat kabar ini disebut sebagai cikal bakal pers nasional sejak
proklamasi.
·
Pada tanggal 8 – 9
September 1946, kalangan pers Indonesia mengadakan kongres di Solo dan
membentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). PWI merupakan wadah untuk
mempersatukan pendapat dan aspirasi. Saat itu PWI diketuai oleh Mr. Sumanang.
·
Pada masa ini media
massa menyebarkan berita tentang pertempuran, perundingan, pembangunan, serta
peristiwa bahagia atau duka yang terjadi.
·
Pada tahun 1948, media
massa mulai diwarnai berita perpecahan antara golongan kanan ( Front Nasional) dan
golongan ekstrim kiri (komunis – Front Demokrasi Rakyat). Pada tahun ini
pula pertamakalinya terjadi pembredelan Koran dalam sejarah pers Republik
Indonesia.
·
15 MAret 1950,
dibentuk panitia Pers untuk mempererat hubungan pemerintah dan pers, namun tanpa
ikatan apapun yang mengurangi kemerdekaan pers.
·
14 September 1956,
kepala Staff Angkatan Darat mengeluarkan peraturan no. PKM/001/0/1956 yang
menegaskan larangan untuk menerbitkan/ menyebarkan informasi yang mengandung
kecaman/ penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
·
14 Maret 1957,
pemberlakukan situasi darurat perang (SOB) banyak terjadi pembredelan pers dan
penahanan wartawan di masa ini.
·
1 oktober 1958,
Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan Ketentuan Ijin Terbit
2. Demokrasi
Terpimpin (1959-1965)
·
Pada masa ini di
Jakarta berlaku larangan berpolitik dalam segala bentuk termasuk pers. Dilarang
melakukan kegiatan politik yang dapat mempengaruhi haluan negara secara
langsung atau yang tidak bersumber pada badan pemerintahan yang berwenang. Yang
membangkang Demokrasi Terpimpin, harus menyingkir atau disingkirkan.
·
Pada tahun 1960,
penerbit bukan hanya wajib mengajukan Surat Ijin Terbit (SIT) sebagai
pengesahan dilakukannya kegiatan penyiaran, tapi juga wajib mengajukan Surat
Ijin Cetak (SIC).
·
Untuk mendapatkan SIT
penerbit harus menyetujui pernyataan bahwa penerbit akan mendukung Manipol –
Usdek, dan akan mematuhi pedoman dari penguasa. Pernyataan ini digunakan
sebagai alat untuk menekan surat kabar oleh pemerintah.
·
Pada masa ini surat
kabar yang beredar hanya bersumber dari satu suaram yaitu PKI. Sebagai usaha
untuk mengimbanginya didirikan BPS (badan Penyebar Soekarnoisme), untuk
menghindari bahaya yang terjadi jika masyarakat hanya memiliki pegangan dari
satu sumber saja.
3. Orde Baru
(1965-1998)
·
Pada masa orde baru
aturan yang menindas pers tetap dilestarikan. Banyak terjadi pembredelan Koran
yang dianggap bertentangan dengan pemerintah antara lain: majalah Sendi (1972),
Sinar Harapan (1973), pada tahun 1974 ada 12 penerbitan di brendel, setelah
peristiwa Malari meledak. Tahun 1978 Kompas Sinar Harapan, Merdeka, Pelitia,
The Indonesian Times, Sinar Pagi, dan Pos sore dibekukan sementara waktu akibat
maraknya aksi mahasiswa yang menentang pencalonan Soeharto sebagai Presiden.
Majalah Tempo 91982), Jurnal Ekuin (1983), dll
·
Pada tahun 1970 sampai
1998, Pers yang berlaku adalah Pers Pancasila. Pers semata-mata hanya alat
pemerintah, pers kehilangan indepedensi dan fungsi kontrolnya. Terdapat sistem
perizinan terhadap pers (SIUPP), dan PWI yang merupakan satu-satunya organisasi
wartawan di Indonesia malah menjadi operator pemerintah dalam menekan pers.
·
Pada tanggal 7 Agustus
terbentuk AJI, sebagai wujud sikap menolak wadah tunggal wartawan (PWI).
Keberadaan AJI ditentang, wartawan yang menjadi anggota AJI diberhentikan dan
tidak boleh dipekerjakan kembali sebagai wartawan.
·
Pada tahun 1995
penyebaran informasi lewat internet mulai marak, informasi-informasi yang sulit
disebarkan lewat media cetak beredar luas lewat internet.
4. Era Reformasi
(1998 – sekarang )
·
Semenjak lahirnya era
reformasi, kebebasan pers (kebebasan berekpresi dan berpendapat) dijamin.
Akhirnya pers dapat lepas dari sistem yang membungkam pers dimasa orde baru.
Hal ini di tandai dengan dirombaknya UU Pers no. 21 Tahun 1982.
·
Namun tetap saja pers
tidak benar-benar bebas. Sebab meskipun memiliki UU sendiri, yang menjamin
perlindungan hukum serta kebebasan dari paksaan dan campur tangan pihak
manapun; pers masih bisa dijerat dengan pasal-pasal KUHP dalam melakukan tugas
jurnalistiknya. Contohnya kasus antara pemimpin redaksi majalah Tempo – Harry
Mukti dengan Tommy Winata di tahun 2004 lalu, dll.
·
Dilain pihak, era
reformasi yang membuka kebebasan untuk bereksplorasi malah membuat media
dieksploitasi. Media menyebarkan informasi yang bernilai jual tinggi, mengumbar
sensasi, bahkan menyebarkan informasi yang hanya berkualifikasi isu, rumor atau
hanya dugaan! Lebih ekstrim, pers diterbitkan untuk tujuan politis.
Mempengaruhi pembaca untuk menerima ideology calon tertentu dan menyerang
lawannya.
·
Hal ini mengakibatkan
‘publik’ kemudian menjalankan aksi menghukum pers dengan tolak ukur mereka
sendiri. Padahal teror massa jauh lebih kongnrit dampaknya. Contoh kasus
pedudukan media oleh kelompok tertentu, akibat beredarnya karikatur Nabi
Muhammad beberapa waktu lalu.
Demikian penjelasan
lengkap terkait bagaimana perkembangan pers di Indonesia.

Komentar
Posting Komentar